I.
PENDAHULUAN
Bawang putih (Allium sativumL.) merupakan komoditas sayuran
yang banyak mendatangkan keuntungan karena mempunyai nilai ekonomi yang tinggi.
Umbi bawang putih banyak digunakan sebagai bumbu masak. Selain dikonsumsi
sebagai bumbu masak, bawang putih dapat digunakan sebagai bahan obat dan
kosmetik (Santoso 1988). Sentra bawang putih di Indonesia umumnya
terkonsentrasi di Pulau Jawa. Berdasarkan survey eksplorasi, sekitar 72 persen
daerah penanaman bawang putih terdapat di Jawa (Buurma 1991). Penanaman bawang
putih di Jawa kebanyakan (66 persen) dilakukan di dataran tinggi (> 700
meter dpl). Varietas bawang putih utama yang diusahakan di dataran tinggi
adalah Lumbu Hijau, Tawangmangu, Lumbu Kuning, Gombloh dan Tes.
Kebutuhan (konsumsi) bawang putih dari tahun ke tahun terus
meningkat sejalan dengan meningkatnya jumlah penduduk, semakin membaiknya
perekonomia nasional dan semakin meningkatnya pengetahuan masyarakat akan
pentingnya gizi komoditas tersebut. Namun, peningkatan ini belum mampu
diimbangi dengan peningkatan produksi. Hal ini disebabkan oleh luas tanam dan
produktivitas hasil yang rendah (6,43 ton/ha pada tahun 1995) (Renstra Pusat
Penelitian dan Pengembangan Hortikultura 1997).
Dari referensi kita dapat mengidentifikasikan bahwa baik
luas panen maupun produksi mengalami peningkatan dari tahun ke tahun, sedangkan
produktivitas hasil masih rendah walaupun mengalami peningkatan terutama sejak
tahun 1991 sehingga belum mampu memenuhi kebutuhan konsumsi penduduk karena ada
kecenderungan impor umbi bawang putih mengalami peningkatan dari tahun ke
tahun. Beberapa penyebab rendahnya produksi bawang putih ini adalah kualitas
bibit yang rendah, serangan penyakit terutama jamur dan virus, lingkungan
tumbuh yang kurang optimum serta tingginya kehilangan hasil akibat teknik
penyimpanan umbi yang kurang memadai di tingkat petani (Kasiyadi 1981 dan
Hilman dkk. 1991).
Sumber : Renstra Pusat Penelitian dan Pengembangan
Hortikultura. 1997 Dengan adanya krisis moneter dan krisis ekonomi yang melanda
Indonesia usaha peningkatan hasil bawang putih di dalam negeri menjadi suatu
keharusan. Dengan peningkatan produksi ini diharapkan ketergantungan Indonesia
terhadap impor bawang putih dari luar negeri dapat dikurangi sehingga dapat
meningkatkan devisa dari taraf hidup petani. Untuktujuan tersebut, beberapa
usaha yang perlu ditempuh antara lain; intensifikasi (penggunaan bubit unggul,
pengolahan tanah yang memadai, pemupukan berimbang), ekstensifikasi ke
daerah-daerah potensi dan modifikasi lingkungan tumbuh kurang optimal dengan
memasukkan varietas unggul, pengairan dan drainase, pengendalian hama dan
penyakit serta gulma serta mengefisienkan faktor-faktor produksi yang digunakan
(Asandhi dan Gunadi, 1985; Hilman dan Noordiyati 1988).
Mengingat biaya usaha tani bawang putih cukup besar dengan
tingkat risiko usaha tani cukup tinggi bila dibandingkan dengan usaha tani
komoditas lainnya maka diperlukan panduan yang lebih terinci mengenai teknologi
budidaya bawang putih di Indonesia.
BAB II. SYARAT TUMBUH
Bawang putih dapat tumbuh pada berbagai ketinggian tempat
bergantung kepada varietas yang digunakan. Daerah penyebaran bawang putih di
Indonesia yaitu Sumatera Utara, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Bali,
Lombok dan Nusa Tenggara Timur. Daerahdaerah tersebut mempunyai agroklimat yang
sesuai untuk bawang putih sehingga daerah-daerah tersebut sampai saat ini
merupakan daerah penghasil utama bawang putih (Ditjentan 1997). Luas pananaman
yang paling besar ada pada ketinggian di atas 700 meter. Produksi per satuan
luas di dataran tinggi lebih besar dari pada di dataran rendah. Beberapa
varietas ada yang cocok ditanam di dataran rendah. Di dataran medium, daerah
penanaman bawang putih terbaik berada pada ketinggian 600 m dpl. (di atas
pemukaan laut). Perlu dikemukakan bahwa varietas bawang putih dataran tinggi
kurang baik apabila ditanam di dataran rendah begitu pula sebaliknya. Hasil
penelitian menunjukkan bahwa pengaruh faktorfaktor agroklimat terhadap
pertumbuhan dua kultivar bawang putih sangat dipengaruhi oleh lokasi penanaman.
Hasil umbi kering cv. Lumbu Kuning dan Lumbu Putih di Tuwel (900 m dpl). Adalah
tertinggi (5,9 dan 5,7 ton/ha). Produksi kedua kultivardi Bunewah (600 m dpl)
nyata lebih rendah (5,3 dan 4,6 ton/ha), sedangkan produksi umbi kering
terendah di Kramat (10 m dpl) yakni 1,8ton/ha untuk masing-masing kultivar
(Reijnders, Suwandi dan Stallen 1991). Varietas dataran tinggi sulit membentuk
umbi di dataran rendah. Percobaan daya hasil varietas bawang putih did ataran
medium dan tinggi dilaksanakan masing-masing di Karang Ploso dan Banaran Jawa
Timur dengan cv. Lumbu Kuning sebagai pembanding. Hasil umbi kering dan umur
panen menunjukkan bahwa hanya kultivar Sanur yang nyata lebih tinggi dari pada
kontrol (Lumbu Kuning). Walaupun cv. Jatibarang dan Bagor merupakan cv.
Dataran rendah, kultivar-kultivar tersebut mempunyai
harapan untuk dataran medium, Kultivar Layur, walaupun daya hasilnya lebih baik
dari pada Lumbu Kuning, namun umur panennya lebih panjang. Untuk dataran tinggi
semua kultivar yang diuji potensi hasilnya lebih rendah secara nyata terhadap
kultivar lokal (Gombloh) (Permadi dkk. 1992).
Selain varietas (kultivar), syarat-syarat lain yang penting
adalah udara sejuk dan kering tanaman pada fase pembentukan umbi. Waktu yang
paling tepat untuk penanaman bawang putih adalah bulan Mei sampai dengan Juli.
Derajat kemasaman tanah (pH) yang paling disukai adalah 6,5-7,5, sedangkan
apabila pH>6,5 maka tanah harus dikapur. Hasil percobaan pada tanah Latosol
merah kuning Subang (tergolong lahan marginal dengan pH = 4,8), kebutuhan kapur
untuk mencapai pH = 6 setara dengan 9,6 ton/ha dapat meningkatkan hasil umbi
bawang putih (Suwandi 1990).
Tanaman bawang putih dapat tumbuh pada berbagai tipe tanah.
Pada tanah yang ringan, gembur (bertekstur pasir atau lempung) dan mudah
meneteskan air (porous) dapat menghasilkan umbi bawang putih yang lebih baik
dari pada tanah yang berat seperti liat atau lempung. Kondisi tanah yang porous
menstimulir perkembangan akar dan bulubulu akar sehingga serapan unsur hara
akan berjalan dengan baik. Tanaman bawang putih kurang baik ditanam pada
musim penghujan karena kondisi tanah terlalu basah, temperatur tinggi sehingga
mempersulit pembentukan siung.
BAB III. BIBIT/BENIH
Mutu bibit/benih bawang putih yang baik harus memenuhi
persyaratan sebagai berikut :
(1) Bebas hama dan penyakit
(2) Pangkal batang berisi penuh dan keras
(3) Siung bernas
(4) Besar siung untuk bibit 1,5 sampai 3 gram
Penyimpanan Umbi Bibit
Pada umumnya petani menyimpan umbi bibit di para-para dan
digantung dengan cara pengasapan. Cara ini praktis tetapi seringkali merusak
umbi bibit dan memiliki penampilan yang kurang menarik dan memberikan warna
yang kecoklat-coklatan. Cara penyimpanan umbi bibit lain terdiri dari
penyimpanan alami, penyimpanan di lapangan, penyimpanan di ruangan berventilasi
dan penyimpanan pada suhu dingin. Takagi dan de Viser (1991) mengungkapkan
bahwa penurunan temperatur penyimpanan umbi bibit dapat memperbaiki persentase
pengumbian dan jumlah siung bawang putih di lapangan. Penyimpanan umbi bibit
dataran rendah dapat dilakkan di dataran tinggi (1250 m dpl).
Bibit ini apabila ditanam ke lapangan akan menghasilkan
bobot umbi brangkasan yang baik. Selain itu penyimpanan umbi bibit dapat
dilakukan pada suhu dingin 58C. Penyimpanan umbi bibit di ruangan yang bersuhu
tinggi di dataran rendah sebaiknya dihindarkan (Hilman 1992). Penyimpanan
pada temperatur dingin selain mencegah perubahan reaksi biokimia yang
menyebabkan kerusakan umbi bibit.
Perbaikan Mutu Umbi Secara Inkonvensional
Di Indonesia bawang putih tidak mampu berbunga secara
alami. Untuk pembungaan, bawang putih memerlukan penyinaran panjang (di atas 12
jam). Demikian pula cara merangsang pembungaan bawang putih masih belum
diketahui. Hal ini menyebabkan variasi genetik sempit. Mutagenesis dengan
menggunakansinar gamma dan neutron belum memberikan hasil bibit yang memuaskan.
Oleh karena itu, cara perbaikan genetik inkonvensional lainnya perlu dicoba
misalnya melalui poliploidisasi. Konsentrasi kolkhisin dan lama perendaman
merupakan faktor penting sebagai penentu keefektifan terjadinya
poliploid.Konsentrasi 1000 dan 1500 ppm kolkhisin dengan pernendaman selama 3
jam efektif merangsang poliploid. Penampilan generasi pertama bawang putih yang
berasal dari bibit poliploid di lapangan menunjukkan variasi yang besar dalam
ukuran umbi kering bersih (Permadi 1991).
Kultut jaringan merupakan suatu metode untuk mengisolasi
bagian tanaman seperti jaringan serta menumbuhkannya dalam kondisi aseptik
sehingga bagian-bagian tersebut dapat tumbuh dan berkembang menjadi tanaman
lengkap. Dengan kultur jaringan dapat diperoleh perbanyakan mikro/produksi
tanaman baru dalam jumlah besar dalam waktu relatif singkat. Metode ini sangat membantu
dalam usaha membebaskan patogen terutama virus. Untuk pertumbuhan dan
perkembangan kalus, kultivar Lumbu Kering memberikan respon lebih baik dari
pada cv. Lumbu Putih baik dalam kondisi gelap maupun kondisi terang. Demikian
pula respon eksplant bonggol dan penumbuhan jaringan meristem cv. Lumbu Kuning
lebih baik dari pada kultivar-kultivar lainnya. Komposisi media 0,1 mg NAA/l
dan 0,1 mg GA3/l menunjukkan pertumbuhan tanaman yang baik dan cepat (Karyadi
1991).
Regenerasi tanaman bawang putih dapat juga dilakukan pada
potongan jaringan menjadi tanaman. Komposisi media buatan yang digunakan
terdiri dari unsur makro dan mikro, asam amino, vitamin dan suplemen organik
lainnya seperti zat pengatur tumbuh. Untuk percobaan induksi kalus lainnya,
persentase kontaminasi kesplant yang tidak berkembang cukup kecil. Kombinasi
hormon tumbuh 0,5; 5,9 dan 11,3 uM 2,4 D; 2, 6, 10 uM BAP, dan 0, 1, 10,5 dan
20 uM p CPA berperan baik dalm induksi kalus areal asal eksplant bonggol bawang
putih cv. Lumbu Hijau yang diambil dari umbi 1 minggu setelah panen.
Dari percobaan regenrasi tanaman asal bonggol dan ujung
daun ternyata respon pertumbuhan bakal tanaman terhadap media kurang baik.
Eksplant asal daun hanya membengkak dan mengembang menjadi potongan daun,
berwarna hijau atau hijau muda dan ada yang tidak berwarna (albino).
Perbaikan Mutu Bibit dengan Pemupukan
Kualitas (mutu) bibit erat kaitannya dengan pemupukan pada
saat proses produksi. Pemupukan dengan unsur mikro CuSO4(20 ppm) dan campuran
20 ppm ZnSO4+ 10 ppm H3BO3+ 5 ppm Amonium Mo dapat meningkatkan kekerasan umbi
bibit (Gunadi dkk. 1988). Unsur mikro diperlukan sebagai katalisator proses
biokimia tanam. Cu berperan dalam peningkatan klorofil daun dan Zn berperan
dalam pembentukan hormon IAA secara alami yang mampu mentranslokasikan
karbohidrat dari daun ke bagian umbi. Dengan mekanisme pengisian umbi ini kadar
bahan padat terlarut di bagian umbi menjadi lebih banyak sehingga mutu umbi
yang dihasilkan lebih baik.
IV. PERSIAPAN LAHAN, TANAM DAN
PEMUPUKAN
Di Indonesia, penanaman bawang putih biasanya dilakukan di
daerah persawahan yaitu setelah panen padi. Tanah diolah secukupnya serta
dibuatkan bedengan dengan ukuran lebar 80 sampai dengan 120 cm serta tinggi
(dalam) 40 cm, sedangkan panjang bedengan disesuaikan dengan situasi lahan.
Bila pH tanah kurang dari 6 perlu diberi kapur 1-2 ton/ha dan diaplikasikan 14
hari sampai 1 bulan sebelum tanam (Suwandi 1991). Penggunaan pupuk pada bawang
putih terdiri dari pupuk organik dan pupuk anorganik (buatan). Pupuk organik
dalam bentuk pupuk kandang ayam dengan dosis 10-20 ton/ha umumnya diberikan
pada saat tanam dengan cara disebar dan diaduk hingga merata. Dosis pupuk
anorganik yang dianjurkan adalah 200 kg N ha-1, 180 kg P2O5ha-1, 60 kg K2O
ha-2dan 142 kg S ha-1(Hilman dan Suwandi 1992;Asandhi dan Gunadi, 1985). Tidak
seperti sistem penanaman dengan cara bedengan, penanaman bawang putih dengan
sistem complongan (lubang) pada lahan andosol marginal memerlukan pupuk kandang
ayam cukup tinggi (1 kg/ lubang tanam). Tiap lubang tanam terdiri dari 9
tanaman bawang putih. Pupuk buatan terdiri dari TSP dengan dosis 60 kg P2O5,
campuran pupuk urea dan ZA (amonium sulfat) 240 kg masing-masing 1/3 dosis pada
umur 15, 30 dan 45 hari setelah tanam. Praktek penanaman bawang putih secara
complongan dapat dijumpai di daerah Kajoran Magelang, Jawa Tengah.
Pada bawang putih ditanam dengan sistem tumpang gilir
dengan cabai, dosis penggunaan pupuk pada bawang putih di dataran tinggi dengan
tipe tanah andosol adalah 20 ton ha-1pupuk kandang ayam, 180 kg Nha-1, 180 kg
P2O5ha-1, 100 kg K2O ha-1, 60 kg P2O5ha-1, dan 60 kg K2O ha-1serta tidak
memerlukan pupuk kandang ayam lagi. Dengan demikian sebagian residu pupuk dari
bawang putih dapat dimanfaatkan oleh tanaman cabai sehingga dapat mengurangi
pemakaian pupuk organik dan pupuk buatan pada cabai (Sumarna, Suwandi dan
Hilman 1991).
Pada kenyataannya takaran penggunaan pupuk N, P dan K di
kalangan petani sudah melebihi dosis pupuk yang direkomendasikan. Rata-rata
penggunaan pupuk buatan di tingkat petani pada jenis tanah andosol di atas 200
kg N, 180 kg P2O5dan 150 kg K2O. Akibat pemupukan N, P dan K pada dosis tinggi
dapat menimbulkan kesehatan unsur hara makro lainnya di dalam tanah seperti
unsur Mg, Ca dan S serta mikro Cu. Untuk mengatasi masalah ini perlu penambahan
K, Ca dan Mg yang berasal dari kapur dolomit dengan dosis 3 ton ha-1yang
dikombinasikan dengan unsur Cu pada konsentrasi 8 ppm melalui tanah (Hilman dan
Suwandi 1992). Untuk tipe tanah yang sama, unsur seng (Zn) memegang peranan
yang cukup penting dalam meningkatkan hasil dan kualitas hasil umbi. Untuk
mendapatkan hasil optimal umbi bawang putih diperlukan unsur Zn (1 %) yang
diinkorporasikan ke pupuk TSP dengan sosis 135 kg P2O5ha-1atau dalam bentuk
TSPP+(Suwandi dan Hilman 1989). Peranan seng (Zn) di dalam tanamanadalah
merangsang pembentukan hormor IAA secara alami yang mampu mentranslokasikan
hasil-hasil fotosistensis dari bagian vegetatif ke bagian generatif (umbi).
Pupuk buatan dapat yang diaplikasikan baik melalui tanah maupun melalui daun.
Pupuk buatan yang diaplikasikan melalui daun disebut pupuk daun atau pupuk
pelengkap cair (PPC). Pupuk daun umumnya mengandung unsur hara mikro. Dengan
adanya unsur hara mikro dalam tanaman amka aktivitas enzimatik dalam proses
metabolisme tanaman lebih aktif sehingga hasil fotosintensis dan hasil umbi
bawang putih meningkat. Tiga macam pupuk daun (PPC) yang dapat meningkatkan
hasil umbi bawang putih antara lain Massmikro, Sagita, Tress dan
Greenzit.
Atonik merupakan zat pengatur tumbuh buatan yang diperlukan
tanaman. Pemberian atonik pada bawang putih mampu mendorong proses biokimia dan
memiliki daya fisiologis yang dapat mempercepat waktu panen, meningkatkan hasil
serta memperbaiki mutu tanaman.
Untuk bawang putih konsentrasi atonik yang dibutuhkan
adalah 900 ppm yang diaplikasikan 4 kali (Hilman 1993). Seperti halnya atonik,
Dharmasri 5 EC dengan konsentrasi 0,15 ml l-1yang disemprotkan pada tanaman
bawang putih umur 2, 5, dan 8 minggu setelah tanam untuk cv. Lumbu Kuning yang
ditanam pada ketinggian tempat 1 200 meter di atas permukaan laut memberikan
hasil panen umbi kering jemur yang tinggi, sedangkan pada bawang putih yang
ditanam pada ketinggian tempat 800 meter di atas permukaan laut diperlukan
konsentrasi 0,1 ml l-1.
Jarak tanam yang digunakan 15 cm x 10 cm bagi bibit yang
berukuran siung besar dan untuk produksi bibit digunakan jarak tanam 10 x 10
cm. Siung ditanam secara tegak dengan ke dalaman 5-7 cm dalam tanah. Pada tanah
aluvial dengan struktur berat, pananaman siung sedalam ½ siung harus
dikombinasikan dengan pemberikan mulsa jerami setebal 5 cm. Keutuhan bibit per
hektar untuk siung besar (3 gram) adalah 1 600 kg dan siung kecil (1 gram)
adalah 670 kg.
V. PEMELIHARAAN TANAMAN
Pemeliharaan tanaman bawang putih mencakup pemulsaan,
pengairan dan drainase, pengendalian hama dan penyakit dan penyiangan.
Pemulsaan
Pemulsaan dilakukan segera setelah bibit bawang putih
ditanam di bedengan. Jenis mulsa dapat berupa jerami padi atau daun
alang-alang. Mulsa disebar di atas bedengan secara merata dengan ketebalan 3-5
cm. Penggunaan mulsa plastik hitam tidak dianjurkan karenam mulsa tersebut
terlalu menyerap bahaya matahari dan sedikit memantulkan cahaya sehingga
meningkatkan temperatur tanah (zone perakaran) akibatnya pertumbuhan dan
perkembangan tanaman bawang putih menjadi terhambat (Abidin dkk.1994).
Pengairan dan Drainase Pengairan umumnya pada musim kemarau. Di dataran tinggi
pengairan dilakuakn satu sampai tiga kali dalam seminggu. Jumlah air yang harus
diberikan berkisar 3-5 mm air per hari atau 3-5 liter m2hari1. Penyiraman
tanaman dilakukan sampai tanaman berumur 80-90 hari.
Cara pemberian air dapat dilakukan dengan penyiraman atau
penggenangan (Subhan dkk.1989). Dalam budidaya tanaman bawang putih di luar
musim drainse yang kurang baik merupakan masalah utama yang dapat menghambat
pertumbuhan dan hasil bawang putih. Dengan memperbaiki faktor fisik seperti
porositas dan permeabilitas tanah diharapkan akan berpengaruh secara langsung
terhadap kelancaran fungsi penyerapan air ke dalam tanah (infiltrasi) dan
pembungaan kelebihan air permukaan sehingga kelembaban tanah pada bedengan
pertanaman bawng putih dapat terjaga dengan baik. Cara yang paling praktis
untuk mengendalikan drainase tersebut adalah dengan mengatur tinggi bedengan
atau membuat selokan keliling yang dalam. Tinggi bedengan yang dianggap atau
membuat selokan keliling yang dalam. Tinggi bedengan yang dianggap paling baik
dalam budidaya bawang putih di musim hujan adalah 20 cm (Sumarna dan Abidin
1993).
Pengendalian Hama dan Penyakit
Hama yang sering menyerang tanaman bawang putih adalah
trips. Hama ini dapat dikendalikan dengan insektisida Polo SC-500 dengan
konsentrasi 2 cc l1air yang diaplikasikan secara CDA (Control Droplet
Application) dan dapat menekan penggunaan insektisida tersebut banyak 42%.
Jenis insektisida lainnya yang dianjurkan lain fosfat organik misalnya
kuinalfos (Bayrusil 250 EC), merkaptodimetur (Mesurol 50 WP) atau monokrotofos
(Azodrin 15 WSC; Nuvacron 20 SCW) 2 ml l-1air dengan interval 7 hari terutama
pada waktu tanaman baru tumbuh sampai kurang lebih umur 10 minggu.
Jenis hama ini yang menyerang tanaman bawang putih adalah
golongan tungau. Hama ini dapat dikendalikan dengan akarisida seperti
fenfopatrin (Neothin 50 EC) atau dimetoat (Roxion 40 EC) 2 ml per liter tiap
minggu dimulai pada umur 9 minggu sampai dengan 2 minggu sebelum panen.
Masalah lain yang menghambat usaha peningkatan hasil bawang
putih adalah penyakit purple bloch (Alternaria porri), Leaf spot (Stemphylium
vesicarium), Fusarium oxysporiumdan virus. Kehilangan hasil oleh keempat macam
penyakit tersebut berkisar 60-80 persen. Penggunaan propineb, captafol 0,2%
yang dikombinasikan dengan radiasi sebesar 500 rad dapat mengendalikan S.
vesicarium. Demikian pula kombinasi captafol, chlorotalonil (0,1 %) + 250 rad
efektif untuk mengendalikan Alternaria porri, sedangkan 0,05 persen benlate
dapat digunakan untuk mengendalikan Fusarium oxisporiumdi tempat
penyimpanan (Suryaningsih 1991). Fungisida Benomil (Benlate) 0,5 g l-1air
digunakan untuk menanggulangi penyakit mati ujung daun yang disebabkan oleh
Fisariumdengan interval 7 hari sekali sampai tanaman berumur 60 hari setelah
tanam. Dithane M-45, 2 g l-1air dengan interval 7 hari sekali juga dapat
digunakan untuk menganggulangi Alternaria porri(bercak ungu) pada umur 15 hari
sampai dengan 2 minggu sebelum panen. Bila cuaca berkabut interval penyemprotan
dapat diperpendek menjadi 2 kali satu minggu. Selain secara kimia
penanggulangan penyakit ini dapat dilakukan dengan kultivar yang toleran. Lumbu
Hijau, Tawang Mangu dan Lumbu Hitam diangap toleran terhadap Alternaria pori,
sedangkan cv. Lumbu Hijau, Lumbu Hitam dan Jatibarang dianggap toleran terhadap
Stemphylium(Suryaningsih 1993).
Penyebab utama penurunan produksi bawang putih dapat juga
diakibatkan oleh penyakit busuk lunak yang disebabkan oleh Erwiniaspp.
Kerusakan yang ditimbulkan oleh petogen tersebut mencapai 61,4% dan hingga kini
sulit dikendalikan karena bersifat tular tanah dan tular umbi. Penggunaan
senyawa kimia untuk mengendalikan penyakit busuk lunak jarang dilakukan petani.
Penggunaan Agrimicyn 15/1,5 WP dan Agrept 25 WP atau dengan pemanasan umbi
bibit pada auhu 45°C selama 20 menit efektif mengendalikan patogen busuk lunak,
sedangkan terhadap hasil umbi hanya Agrimicyn 15/1,5 WP yang dapat
mempertahankan hasil panen (Hanudin dan Handayati 1992 dan Hanudin 1993).
Penyebab lain penurunan produksi bawang putih ini adalah
virus. Setiap kultivar bawang putih dinyatakan peka terhadap OYDV dan LYSV
dengan intensitas serangan masing-masing sebesar 66,7; 50,4; 60,0; 51,9; 58,9;
58,9; 54,4; dan 86,7 persen masing-masing untuk kultivarkultivar Lumbu Hijau,
Tawangmangu,Lumbu Hitam, Sanur, Lumbu Putih, Bagor, Jatibarang, Layur dan Tes
(Sutarya 1992). Pemotongan ujung siung tidak dapat mengeliminasi virus tular
umbi dan tidak berpengaruh terhadap pertumbuhan tanaman baik tinggi maupun
jumlah daun. Cara yang efektif untuk mengeliminasi virus yang terbawa umbi
bibit adalah dengan kultur jaringan menggunakan media B-5 + 1 mg NAA 1-1dan 0,1
mg GA1-1. Percobaan eradikasi virus dilaksanakan di Wellesbourne UK menunjukkan
bahwa Gamborg B-5 merupakan media yang baik untuk bawang putih, dome plus 2
auxalarybud menunjukkan explant optimum, tidak ada yang mati dan
terkontaminasi, dan 50 ppm ribavirin (penghambat viral) dan tidak toksik
terhadap planlets (Duriat 1991).
Walaupun sistem PHT bawang putih belum pernah diterapkan
secara menyeluruh, beberapa konsep dasar PHT yang perlu diterapkan di lapangan
antara lain; pengolahan tanah dan air yang baik, pengaturan jarak tanam yang
tepat, penggunaan varietas tahan seperti Lumbu Hijau dan Tawangmangu dan
menggunakan pestisida yang selektif.
Pengendalian Gulma
Penurunan produksi sebagai akibat adanya berbagai gulma
dapat mencapai 80%, terutama bila pemberian mulsa kurang baik sehingga
pertumbuhan rumput subur. Gulma-gulma yang sering dijumpai di daerah pertanaman
bawang putih antara lain; teki, rumput kekawatan, dan bayam liar (duri).
Penyiangan tanaman pada umur 30 dan 60 hari mempunyai pengaruh yang nyata
terhadap produksi. Pemakaian herbisida TOK 50 WP dapat disarankan untuk
pengendalian gulma terutama untuk skala penanaman yang sangat luas (Subhan
dkk.1989).
VI. PANEN DAN PASCAPANEN
Panen
Bawang putih yang akan dipanen harus mencapai cukup umur.
Tergantung pada varietas dan daerah, umur panen yang biasa dijadikan pedoman
adalah antara 90 sampai dengan 120 hari. Ciri bawang putih yang siap panen
adalah sekitar 50% daun telah menguning atau kering dan tangkai batang keras.
Di daerah Ciwidey, Tegal dan Batu panen dilakukan dengan cara mencabut tanaman
kemudian diikat sebanyak 30 tangkai per ikat dan dijemur selama sampai 15 hari
sampai batangnya kering. Umbi dibersihkan dengan membuang akar dan daun dan
sekaligus dilakukan pemilihan (grading) yaitu pemisahan kualitasnya. Di dataran
tinggi bawang putih dapat menghasilkan umbi sebanyak 16-20 ton ha-1(basah),
sedangkan di dataran medium (600 m dpl) dan dataran rendah (450 m dpl ke bawah)
dapat menghasilkan 12-16 ton ha-1basah. Adakalanya sebelum panen tanah diairi
dahulu agar umbi bawang putih mudah dicabut.
Pasca Panen
Di daerah Bali dan Magelang, cara dan peralatan dalam
menangani pascapanen di tingkat petani masih dilaksanakan secara tradisional
(Sjaifullah 1989). Cara pengenringan adalah (1) dikeringkan langsung di bawah
sinar matahari dengan posisi bagin umbi ditutup dengan daunnya, (2) dikeringkan
dalam bangsal berlapis dengan cara digantung baik di kebun maupun di rumah.
Pengeringan juga dapat dilakukan di ruangan dengan menggunakan asap kayu
(pengasapan). Setelah kering, umbi disimpan di gudang, selama penyimpanan 3
bulan susut bobotnya mencapai sekitar 40%. Penyimpanan untuk bibit memerlukan
waktu yang lebih lama (5-6 bulan untuk varietas dataran medium dan rendah) dan
(8-9 bulan untuk varietas dataran tinggi). Suhu optimum untuk penyimpanan umbi
adalah 30°C dan kelembaban 70% menunjukkan mutu umbi bawang putih terbaik
(Sinaga et al.1993).
Selain dengan penyimpanan yang baik, kehilangan dan
kerusakan produk bawang putih dapat dikendalikan dengan proses pengolahan yang
benar. Pengolahan bawang putih bertujuan agar produk tersebut lebih tahan lama
disimpan dan lebih mudah dalam pengemasan dan pengangkutan. Salah satu cara
pengolahan bawang putih adalah dengan proses sebagai tepung. Sampai saat ini
penggunaan tepung bawang putih dalam industri pangan sudah cukup banyak
misalnya dalam produk-produk “chips” yang sekarang sedang berkembang di
Indonesia. Masalah utama dalam pembuatan tepung bawang putih adalah hilangnya
komponen aroma akibat proses pemanasan. Hasil penelitian di Balai Penelitian
Tanaman Sayuran menyimpulkan bahwa perlakuan suhu pengeringan 50-80 oC
menghasilkan kandungan VRS tertinggi dan penerimaan panelis terhadap warna dan
aroma tepung bawang putih yang paling disukai.
Penyimpanan bawang putih merupakan maslaah penting yang
dihadapi petani, akibat penyusutan bobot bisa mencapai 50% lebih. Daya simpan
umbi bawang putih bergantung kepada perlakuan pra panen seperti pemupukan dan
cara pengeringan umbi. Sjaifullah dan Sabari (1989) menyatakan bahwa
pengeringan bawang putih dapat dilakukan dengan alat pengering tenaga surya
tipe IDAHO.
VII. ASPEK SOSIAL EKONOMI
Potensi, Peluang dan Kendala
Usaha pemerintah untuk meningkatkan produksi bawang putih
di dalam negeri antara lain ditempuh melalui cara intensifikasi dan
ekstensifikasi. Dari aspek intensifikasi peluang masih terbuka, produktivitas
masih dapat ditingkatkan karena potensi produksi yang telah dicapai oleh Balai
Penelitian Tanaman Sayuran adalah 16-20 ton ha-1umbi basah (dataran tinggi) dan
12-16 ton ha-1umbi basah (dataran rendah). Dari aspek ekstensifikasi penanaman
bawang putih sangat prospektif khususnya ekstensifikasi penanaman bawang putih
ke dataran medium dan rendah. Luas areal yang tersedia untuk dataran medium
saja mencapai 250.000–450.000 hektar. Budidaya bawang putih sampai saat ini
maish difokuskan di dataran tinggi. Kawasan dataran tinggi seyogyanya harus
dilestarikan karena kawasan ini merupakan daerah tangkapan air hujan dan
pengatur keseimbangan hidrologi.
Upaya memindahkan sebagian komoditas bawang putih di
dataran tinggi ke kawasan yang lebih rendah (dataran medium) akan sangat
membantu usaha pelestarian alam. Agar maksud pengembangan bawang putih ke
daerah tersebut dapatterwujud perlu diketahui peluang keberhasilannya serta
kendala-kendala yang akan menghadang dan upaya mengatasi kendala tersebut.
Berdasarkan survey yang telah dilaksanakan di dataran medium di tiga kabupaten
yakni Kabupaten Majalengka, Kabupaten Magelang dan Kabupaten Malang dengan
metode RRA = Rapid Rural Appraisal (Gibbs 1985) diperoleh kesimpulan antara
lain; (1) Kelayakan pengembangan komoditas bawang putih di dataran medium
bergantung kepada faktor-faktor kunci yaitu peluang pasar, preferensi petani,
kesesuaian agroekonomi, ketersediaan lahan dan kendala teknologi budidaya dan
pasca panen bawang putih di dataran medium; (2) peluang untuk pengembangan
bawang putih di dataran medium dan pasca panen adaptif, kesiapan sumberdaya
manusia yaitu penyuluh dan pranata sosial serta ketersediaan faktor pendukung
yang terkait lainnya. Keuntungan komparatif secara lokal menyebabkan petani di
tiga kabupaten tersebut lebih tertarik memilih tanaman bawang putih dari pada
tanaman sayuran lainnya. Hal ini didasarkan kepada beberapa motivasi antara
lain harga jual tinggi, pemasaran tidak terlalu sulit, dan dapat disimpan lebih
lama karena tidak cepat busuk (Hilman dan Ameriana 1995).
Analisis Usahatani
Melalui analisis biaya dan pendapat dapat diketahui tingkat
keuntungan ekonomi usahatani bawang putih. Indikator keuntungan ekonomi yang
digunakan adalah tingkat keuntungan (penerimaan – total biaya) dan return cost
ratio (R/C-ratio) merupakan rasio antara penerimaan dengan total
biaya.
Tataniaga Bawang Putih
Pemanasan bawang putih dari sentra produksi ke daerah lain
cukup luas. Di daerah Ciwidey Kabupaten Bandung pemasaran bawang putih dapat
dilakukan ke Bandung, Surabaya dan Bali (untuk bawang putih basah) dan Jakarta,
Sukabumi, Bogor dan Serang (untuk umbi bawang putih kering). Saluran tataniaga
yang digunakan baik ke Kotamadya Bandung maupun DKI Jakarta adalah :
Saluran Tataniaga A :
Petani - Komisioner/Penyiar – Bandar – Grosir Caringin/Kramatjati Pengecer – Konsumen.
Saluran Tataniaga B : Petani – Bandar Ciwidey –
Grosir/Kramatjati – Pengecer – Konsumen.
Saluran Tataniaga C : Petani – Penebas –
Grosir/Kramatjati – engecer – Konsumen.
Fungsi masing-masing lembaga tataniaga adalah sebagai
berikut :
a.
Komisioner/Penyiar
Kegiatan utama komisioner adalah membantu petani memasarkan
bawang putih atau membantu bandar mencari bawang putih. Esarnya komisi yang
diterima oleh penyiar adalah Rp. 50,00/kg untuk bawang putih besar dan
100,00/kg untuk bawang putih kecil.
b.
Bandar
Bandar mempunyai tunas untuk mencari barang, membeli barang
dari petani atau penyiar. Pembelian dan penjualan barang (bawang putih) umumnya
dilakukan oleh bandar berdasarkan ukuran berat. Volume pengiriman barang
berkisar antara 1-1,5 ton yang dibagikan kepada beberapa grosir dengan waktu
pembayaran 1-3 hari setelah transaksi.
c.
Penebas
Fungsi penebas hampir sama dengan bandar. Penebas membli
bawang putih dari petani dengan cara menaksir di kebun. Pembelian bawang putih
dilakukan secara kontan, sedangkan untuk penjualan ke Grosir
Caringin/Kramatjati pembayaran baru diterima 1-3 hari setelah transaksi.
d.
Grosir
Caringin/Kramatjati
Grosir di pasar Caringin dan Kramatjati mempunyai lapak/jongko
yang sudah mempunyai pelanggan tetap. Volume pembelian dari bandar berkisar 2-3
kuintal/2 hari kecuali pada hari raya meningkat dua kali lipat. Harga beli dari
bandar ditetapkan berdasarkan kesepakatan dan informasi harga di pasar. Cara
pembayaran umumnya dengan uang muka sebesar 30-40 persen dengan penjualan
minimal 1 kg. Pembayaran yang diterima grosir biasanya kontan, kecuali untuk
pengecer di pasar yang sama baru diterima 1-3 hari kemudian.
e.
Pengecer
Pengecer membeli bawang putih dengan volume 2-5 kg langsung
ke grosir dengan cara membayar kontan. Pembelian dilakukan pada waktu
sore/malam hari. Pengecer malayani pembeli dari konsumen ¼ kg, 1 ons bahkan Rp.
100,00. Pembayaran yang diterima umumnya kontan.
Untuk mendapatkan efisiensi saluran tataniaga perlu
diketahui “total mark up” (selisih antara hasil penjualan dan pembelian).
Saluran tataniaga B memberikan nilai total mark up yang paling kecil yaitu
81,16% dan 72,65%. Ini berarti bahwa saluran tataniaga B untuk tujuan pemasaran
Bandung dan Jakarta merupakan saluran tataniaga yang paling efisien karena
biaya tataniaga dan keuntungan yang diambil oleh lembaga tataniaga ternyata
paling kecil. Demikian pula dari aspek efisiensi teknis dan ekonomis dan bagian
harga yang diterima oleh petani (farmer'’ share) ternyata bahwa saluran
tataniaga B mempunyai indeks efisiensi teknis (T) dan ekonomis (E) yang peling
rendah dibandingkan dengan saluran tataniaga A dan C dengan nilai farmer’s
sharenya tertinggi
Kendala yang akan menghadang upaya pengembangan bawang
putih di dataran medium antara lain : kekuatan atau posisi tawar-menawar,
permodalan petani yang lemah, tingkat pengetahuan teknologi budidaya dan pasca
panen yang belum memadai, kualitas dan kuantitas tenaga penyuluh pertanian
dibidang hortikultura, penyediaan bibit unggul berkualitas tinggi cukup
kuantitasnya dan kontinyu suplainya, eksistensi OPT dan teknologi pengendalian
OPT yang berwawasan lingkungan. Pemasaran juga merupakan maslaah yang sering dihadapi
petani terutama dengan masuknya bawang putih impor sehingga berpengaruh
terhadap harga jual bawang putih lokal. Bawang putih impor mempunyai ukuran
diameter umbi besar dan sangat disukai oleh konsumen rumah tangga. Akibatnya
harga bawang putih lokal lebih rendah dari pada bawang impor. Untuk mengatasi
permasalahan ini perlu dicari teknologi budidaya yang dapat menghasilkan umbi
dengan ukuran besar misalnya dengan perbaikan varietas dan kultur teknis yang
tepat.
Kendala lain berupa faktor-faktor yang melekat pada diri
petani sebagai pengusaha (tingkat pendidikan yang rendah, kemampuan manajemen
yang rendah, keberanian menanggung risiko, wawasan bisnis yang terbatas, usaha
yang masih bersifat subsisten tradisional). Faktor pemilikan dan penguasaan
lahan yang relatif sempit jugamerupakan kendal yang berkaitan dengan ecinimics
scale.
Kendala yang beraspek kelembagaan adalah dengan dilarangnya
impor bibit kultivar unggul dari luar negeri. Arus globalisasi juga merupakan
bentuk kendal lain bagi pengembangan bawang putih yang berkaitan dengan
kopetisi antara tingkat harga bawang putih domestik dengan luar negeri (pasar
dunia) dengan mulai dihapuskannya proteksionisme (tariff maupun non-tariff
barrier) (Bunasor dan Aminah 1991).
DAFTAR PUSTAKA
Abidin, Z. Subhan dan E. Koswara.1994. Pengaruh penyiangan
secara manual, penggunaan mulsa dan herbisida terhadap gulma dan hasil bawang
putih. Laporan Penel. ARMP 1993/1994. Balai Penelitian Hortikultura
Lembang.
Akhirman Joko. 1988. Hambatan-hambatan dalam usaha
swasembada bawang putih di Indonesia. Tesis S-1. Jurusan Ilmu-ilmu Sosial
Ekonomi Fak. Pertanian IPB, Bogor. Tidak dipublikasikan. Asandhi, A.A. dan N.
Gunadi. 1985. Pengaruh Nitrogen terhadap pertumbuhan dan hasil bawang putih di
musim hujan. Bull.Penel.Hort.Vo. XII(1) : 4-10.
Bunasor dan M. Aminah. 1991. Peluang bisnis usaha tani
bawang putih. Temuwicara Peluang Bisnis Bawang Putih. Majalah Trubus Cimanggis,
Bogor.
Buurma, J. 1991. Statistical information on garlic.
Research Report. ATA 395 Project.
Ditjentan. 1997. Perkembangan luas panen, rata-rata hasil
dan produksi sayuran. Direktorat Jenderal Tanaman Pangan dan Hortikultura.
Jakarta.
Duriat, A. 1991. Virus of garlic. Rangkuman Hasil
Penelitian Pengendalian Virus pada Workshop “Garlic” 11-12 Desember 1991.
Proyek ATA 395 Balai Penelitian Tanaman Hortikultura Lembang : 3 hal.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar